Perkelahian pelajar
(TAWURAN)
Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di
antara pelajar. Bahkan bukan “hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda
sampai ke kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang
wajar pada remaja.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran
ini sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun
1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183
kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban
meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus
yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban
meningkat dengan 37 korban tewas dan yang paling hangat kasus tawuran antar pelajar ini
terjadi pada Senin kemarin, 24 September 2012, tawuran antarpelajar
SMA kembali pecah di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan, Pesertanya
lagi-lagi para siswa dari SMA 6 dan SMA 70. Seorang pelajar SMA 6 bernama Alawy
Yusianto Putra, meninggal sebagai korban. Tiga orang lagi luka-luka. Terlihat dari tahun
ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering
tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat
sekaligus.
Tinjauan Psikologi penyebab remaja terlibat perkelahian remaja :
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi
antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau
tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian
pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa
seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan
adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya
keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari
lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya
menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat
perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi
itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat
melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap
masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah.
Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik
batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan
orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat
membutuhkan pengakuan.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau
pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar
bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar
kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu
melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri
dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan
teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya
sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus
mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai
dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak
merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan
yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.)
akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama
teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas
memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai
penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya
juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik”
siswanya.
4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja
alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan
rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk
(misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering
menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh
kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari
lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk
munculnya perilaku berkelahi.